Setitik Asa Untuknya
Lidahku kelu. Pikiranku kalut. Tepat seminggu yang lalu, kamu mengatakan hal yang sudah lama seharusnya kamu katakan. Tentang rasa, asa dan mimpi yang telah dirancang sedemikian rupa olehmu. Mungkin kamu telat. Atau mungkinkah masih ada secercah harapan yang tersisa untukmu? Entahlah. Aku juga tidak tahu pasti.Kamu bagaikan zat toxic yang kerap meracuni pikiranku. Semua perhatianku tersita ketika kamu berbicara di depanku. Setelah sekian lama, kamu baru menyadari hal itu. Siang dan malam silih berganti. Aku dilema. Dalam sujud ku berdo’a, meminta petunjuk kepada-Nya, apakah kamu orang yang tepat untukku?
Hatiku gamang. Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Kala dimana kamu enggan berbicara sepatah kata pun denganku. Aku bahkan tidak mengerti apa salahku. Kamu menghindar dariku dan menganggapku seolah tidak ada. Kita seperti dua orang yang sebelumnya tidak pernah saling kenal. Jurang keegoisan antara aku dan kamu menjadi semakin nyata. Miris rasanya. Aku selalu tersenyum getir saat kamu melintas di hadapanku.
Hingga di suatu penghujung hari yang cerah, akhirnya kamu memulai percakapan itu lagi. Hatiku lega. Amat lega karena melihatmu berbicara dan tersenyum riang di hadapanku sudah menjadi satu kegemaran baru untukku. Mungkin waktu itu aku hanya terlalu berprasangka terhadapmu. Tidak seharusnya aku mengambil kesimpulan bahwa kamu marah denganku.
Semilir angin membuatku dapat berpikir jernih. Hatiku mulai tersingkap. Aku tidak ingin berdusta bahwa sebenarnya aku juga menginginkanmu, bahkan sejak awal kita bertemu.
Saat itu, tepat pada malam purnama di bulan Ramadhan, kamu datang ke rumah dan bertemu dengan kedua orangtuaku. Aku tidak mengira kamu seberani dan secepat ini mengambil langkah. Ya, kamu yang pada malam itu melamarku di depan kedua orangtuaku. Aku terkesima dengan ucapanmu. Tetapi, di sisi lain aku sangat senang karena artinya kamu tidak ingin kehilanganku. Kedua orangtuaku pun menyerahkan keputusannya padaku. Spontan aku menjawab iya dan kedua orangtuaku merestui hubungan kita. Kamu terlihat lega dan bahagia. Pun denganku.
Ternyata, rencana-Nya sungguh indah dan membekas di relung hatiku.
“Kalau setiap cerita hidup kita selalu indah, hati ini tidak pernah kenal dekat dengan kata sabar dan ikhlas.”
“Kalau setiap yang kita inginkan terus dikabulkan, kita tidak pernah tahu indahnya mendekati Allah bersama jutaan do’a dan harapan.”
“Kalau setiap harapan selalu berjalan sesuai rencana, kita tidak pernah belajar bahwa kecewa itu menguatkan.”
“Kalau kamu percaya takdir, aminkan dalam hati, kita bertemu suatu hari nanti…” (Dan aku percaya takdir itu)
Untuk kalian yang sedang dalam masa penantian…
Salam dari kota hujan